Tugas Elektif Penyakit Unggas
INFECTIOUS CORYZA (SNOT )
Ayu Fitriani 1109005003
Irma Rozalina 1109005041
Lidia Nofantri 1209005061
Elisabeth Yulia Nugraha 1209005072
Dimas Indra Dwi Purnama 1209005076
I Made Wira Diana Putra 1209005085
I Kadek Dian Putra Martahadi 1209005096
Putu Andre Wicaksana 1209005097
Wahyu Semadi Putra 1209005098
I Dewa Gede Crisna Ari Handika 1209005099
Komang Tri Astuti 1209005105
Anak Agung Istri Ratih Pramiswari 1209005106
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
______________________________________________
DOWNLOAD
______________________________________________
______________________________________________
DOWNLOAD
______________________________________________
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Unggas
adalah jenis hewan ternak kelompok burung yang dimanfaatkan untuk daging dan
telurnya. Umumnya merupakan bagian dari ordo Galliformes (seperti ayam dan
kalkun) dan Anseriformes (seperti bebek). Pengertian
lain juga menyebutkan bahwa unggas adalah hewan bersayap, berkaki dua, berparuh
dan berbulu, yang mencakupi segala jenis burung, dapat dipelihara dan
diternakan sebagai penghasil pangan (daging dan telur).
Penyakit
unggas biasanya terjadi akibat adanya faktor lingkungan, agen infeksi
(bakteri/virus), iklim, cara pemeliharaan dan sanitasi. Contoh penyakit yang
terjadi pada unggas yaitu; ND, Worm Disease,
gumboro, snot, Infectious Bronchitis, Colibacillosis, Chronic Respiratory
Disease, kolera, berak kapur.
Bakteri
Haemophilus asal unggas pertama kali ditemukan pada tahun 1931 oleh de Blieck
yang diberi nama Bacillus haemoglobinophilus coryzae gallinarum sebagai
penyebab snot atau coryza. Kemudian pada Tahun 1934, Eliot dan Lewis, Delaplane
et al., yang masing-masing bekerja secara terpisah memberi nama bakteri
penyabab snot pada ayam ini Haemophilus gallinarum. SCHALM dan BEACH (1936) melaporkan
bahwa isolat H. gallinarum yang mereka temukan memerlukan haemin (faktor x) dan
faktor v (nicotinamide adenine dinucleotideINAD) untuk pertumbuhannya. Kemudian
PAGE (1962) melaporkan bahwa Haemophilus penyebab snot (coryza) hanya
memerlukan faktor v, tetapi tidak faktor x untuk pertumbuhan in vitro .
Selanjutnya dikenal spesies baru dengan nama H. paragallinarum untuk Haemophilus
yang hanya memerlukan faktor v untuk pertumbuhan in vitro, sebagai penyebab
snot pada ayam.
Penyakit snot atau infectious coryza, adalah
penyakit pernapasan pada ayam, yang disebabkan oleh bakteri dan berlangsung
akut sampai kronis. Secara umum snot adalah penyakit yang menyebabkan
morbiditas tinggi, tetapi mortalitas rendah. Penyakit ini bersifat sangat
infeksius dan menyerang saluran pernapasan bagian atas (El-sawah, et al.,
2012). Penyakit
tersebut sangat penting pada industri peternakan ayam, baik di negara-negara
maju maupun negara berkembang, termasuk Indonesia. Semua jenis ayam baik ayam
pedaging maupun petelur pada semua umur mudah terserang penyakit snot. Jika
dilihat dari aspek etiologinya, snot menular sangat komplek bila terjadi
infeksi sekunder, sehingga masalah penyakit yang ditimbulkan lebih parah dan
mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar. Bila terjadi wabah pada ayam
petelur, produksi telur turun hingga 10 – 40% dan jika menyerang ayam pada
stadium grower dapat mengakibatkan penurunan pertumbuhan (Miao, 2000).
1.2.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
etiologi dari penyakit snot atau infectious coryza?
2.
Bagaimana
epidemiologi dari penyakit snot atau infectious coryza?
3.
Apa
pathogenesis dari penyakit snot atau infectious coryza?
4.
Bagaimana
gejala klinis yang timbul dari penyakit snot atau infectious coryza?
5.
Bagaimana
patologi anatomi dari penyakit snot atau infectious coryza?
6.
Bagaimana
histopatologi dari penyakit snot atau infectious coryza?
7.
Apa
diagnosia dari penyakit snot atau
infectious coryza?
8.
Apa
diagnosia banding dari penyakit snot atau infectious coryza?
9.
Apa
pengobatan yang dilakukan untuk mengobati penyakit snot atau infectious coryza?
10.
Apa
pencegahan yang dilakukan untuk menghindari penyakit snot atau infectious
coryza?
1.3.
Tujuan
dan Manfaat
Mengetahui tentang penyakit snot atau infectious
coryza, gejala yang ditimbulkan serta
pengobatan dan pencegahan penyakit ini.
______________________________________________
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Etiologi
Penyakit
snot atau infectious coryz
disebabkan oleh Haemophilus Paragallinarum, yang merupakan bakteri gram negatif berbentuk
batang pendek atau cocobacil, non
motil, tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Haemophilus paragallinarum merupakan organisme yang mudah mati atau mengalami inaktivasi secara
cepat diluar tubuh hospes. Eksudat infeksiusyang dicampur dengan air ledeng
akan mengalami inaktivasi dalam waktu 4 jam pada temperatur yang berfluktuatif.
Eksudat atau jaringan yangmengandung kuman ini akan tetap infeksius selama 24
jam pda temperatur 4o C eksudat
infeksius dapat bertahan selama beberapa hari padatemperatur 45-55 oC,
kultur Haemophilus paragallinarum dapat diinaktivasi dalam waktu 2-10 menit. Haemophilus paragallinarum terdiri atas sejumlah strain dengan antigenitas
yang berbeda dan paling sedikit 3 sterotipe yaitu A,B,C telah dikarakterisasi secara
terperinci
2.2
Epidemiologi
Penyakit ini dapat menyerang semua jenis ayam, baik
ayam Kampung, ayam petelur, dan ayam potong/pedaging. Penyakit berjalan akut
dan kadang-kadang kronis, dengan masa inkubasi 1-3 hari. Pada sekelompok ayam
penyakit ini dapat berlangsung antara 1-3 bulan. Angka kematian umumnya rendah,
yaitu antara 1-5% walau pernah ada laporan sampai 30%, tetapi angka kesakitan
dapat mencapai 80-100%
Penyebaran penyakit ini hampir ditemukan di seluruh
dunia, terutama di daerah yang beriklim tropis. Wabah penyakit sering terjadi
pada musim peralihan dari penghujan ke musim kemarau atau sebaliknya. Ayam yang
sembuh dari sakit tahan terhadap reinfeksi sekurang-kurangnya untuk satu tahun .
Penularan penyakit dapat terjadi melalui kontak
langsung dengan ayam sakit atau ayam karier, tetapi dapat pula terjadi secara
tidak langsung melalui air minum, pakan, dan peralatan yang terkontaminasi. Infeksius
coryza dapat menyerang ayam semua umur, tetapi yang paling peka adalah ayam
umur 18-23 minggu atau menjelang bertelur. Jika terinfeksi, kelompok ayam ini
akan sangat terlambat berproduksinya. Pada ayam yang sedang bertelur, penurunan
produksi dapat mencapai 10-40%, sedangkan pada ayam dara pengafkirannya
(culling rate) dapat mencapai 20%.
2.3
Pathogenesis
Penularan penyakit coryza terjadi secara
horizontal, ayam menderita infeksi kronis atau carrier merupakan sumber utama
penularan penyakit. Infectious coryza
ditemukan saat pergantian musim atau berhubungan dengan adanya berbagai jenis stres,misalnya
akibat cuaca, lingkungan kandang,nutrisi, perlakuan vaksinasi dan penyakit
imunosupresif. Penyakit ini dapat menular secara cepat dari ayam satu ke ayam
lainnya dalam satu flock atau dari flock satu ke flock lainnya.
Penularan dapat tejadi secara tidak
langsung melalui kontak dengan pakan atau berbagai bahan lain, alat/
perlengkapan peternakan atau
pekerja yang tercemar bakteri penyebab infectious coryza.
Penularan melalui udara dapat terjadi, jika kandang ayam terletak berdekatan
sehingga udara yang tercemar debu/kotoran yang mengandung bakteri Haemopilus
paragallinarum dihirup oleh ayam yang peka (Murtidjo, 1992).
2.4
Genala
Klinis
Penyakit snot atau infectious coryza dapat terjadi pada ayam semua umur
yang sedang dalam pertumbuhan, baik pada ayam pedaging atau ayam petelur.
Gejala klinis yang terlihat berupa keluarnya eksudat atau lendir dari sinus
hidung dan mulut, kepala bagian depan bengkak, nafsu makan turun ( anorexia) dan diare. gejala khasnya adalah cairan mukoid dari rongga hidung
yang berbau busuk dan sedikit berbusaPada ayam leyer dapat menurunkan produksi telur
antara 10-40%
2.5
Patologi
Anatomi
Penyakit snot
akan menyebabkan peradangan kataralis akut pada membran
mukosa cavum nasal dan sinus. Terdapat konjungtivitis kataralis dan edema
subkutan pada daerah facialis dan pial.
Pada penyakit ini jarang terjadi adanya peradangan pada paru dan
kantong udara.
2.6
Histo
Patologi
Perubahan histopathologik penyakit snot
adalah pada cavum nasal dan sinusin
fraorbitalis dan trachea mengalami deskuamasi, desintegrasi dan hiperplasia
lapisan mukosa dan glandularis edema, hiperemia,infiltrasi heterofil, mast cell
dan makorfag dan di daerah
tunika propia. Jika infeksi meluas ke saluran pernafasan bagian bawah,
maka akan ditemukannya bronkopneumonia
akut,yang ditandai oleh adanya infiltrasi heterofil diantara dinding
parabronki.
2.7
Diagnosa
Diagnosis sangkaan terhadap
snot dapat didasarkan atas gejala klinis dan perubahan patologi yang
ditimbulkan oleh penyakit ini. Diagnosis akhir dapat dilakukan dengan isolasi
dan identifikasi bakteri dari kasus snot pada stadium akut yaitu antara 1-7
hari pasca infeksi (Tabbu, 2000). Diagnosis snot dapat juga dilakukan secara in vivo dengan cara inokulasi
pada ayam yang sensitif menggunakan eksudat dari sinus ayam sakit atau suspensi
kultur kuman Haemophilus Paragallinarum.
Metode lain untuk
mendiagnosis penyakit ini adalah secara serologik dengan uji agar gel
presipitasi (AGP), uji hemaglutinasi inhibisi (HI), uji hemaglutinasi (HA)
tidak langsung dan uji fluorescent abtibody (FA) langsung (Blackall,
2011).
2.8
Diagnosa
Banding
Diagnosa banding dari
penyakit snot adalah chronic respiratory diseases (CRD), swollen head
syndrome (SHS), infectious bronchitis (IB), kolibasilosis, Infectious
laryngotracheitis (ILT), dan fowl pox bentuk basah (wet pox).
Mortaliltas akan lebih tinggi dan proses penyakit akan lebih lama pada
kondisi ini (Yamamoto, 1972; Sandoval et al.,1994).
2.9
Pengobatan
Beberapa jenis antibiotik
yang digunakan untuk mengobati snot meliputi gentamisin, ceftriakson,
tobramisin, kloramfenikol, nitrofurantoin, neomisin, sulfadiasin, tetrasiklin,
enrofloksasin, metronidasol, dan siprofloksasin. Haemophilus Paragallinarum masih sensitif terhadap gentamisin, ceftriakson,
tobramisin, kloramfenikol, nitrofurantoin dan resisten terhadap neomisin,
sulfadiasin, tetrasiklin, enrofloksasin, metronidazole, dan siprofloksasin
(Priy, et al, 2012).
2.10
Pencegahan
Pengurangan jumlah kelompuk umur yang sama
dalam suatu lokasi peternakan sebaiknya dikurangi untuk mengindari
penularan ke ayam lain.Penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian vaksin
inaktif sekitar umur 8-11 minggu dan 3-4 minggu sebelum prosuksi. Pemberian vaksin in aktif pada ayam petelur atau parent stocks,
pada fase grower dan menjelang produksi telur. Sehubungan dengan
kenyataan bahwa vaksin snot hanya memberikan kekebalan silang yang minimal
diantara berbagai serotipe Haemophilus Paragallinarum, maka vaksin yang terbaik seharusnya bersifat
otogenus atau homolog dengan kuman penyebab snot yang terdapat dilapangan.
Dalam hal ini menggunakan vaksin snot yang mempunyai serotipe yang sama atau
serotipe yang dapat mengadakan reaksi silang dengan serotipe Haemophilus Paragallinarum yang berada di lapangan.
Juga upaya pencegahan yang dapat
dilakukan adalah dengan menjaga kebersihan kandang dan lingkungan
dengan baik. Kandang sebaiknya terkena sinar matahari langsung sehingga
mengurangi kelembaban. Kandang yang lembab dan basah memudahkan timbulnya penyakit.
______________________________________________
BAB
III
KESIMPULAN
3.1
Kesimpulan
Melihat pembahasan
diatas dapat disimpulkan bahwa Infectious Coryza (Snot) menyerang
ternak unggas. Infectious coryza disebabkan oleh bakteri Haemophillus
gallinarum yang menyerang saluran pernafasan pada unggas.
Penularan infectious coryza dapat melalui kontak langsung
antara unggas yang terserang dengan unggas yang sehat, dapt juga melalui pakan
dan minum unggas. Tingkat kematian unggas akibat penyakit ini tergolong rendah
tetapi morbiditas nya tinggi, dapat menyebabkan penurunn bobot badan pada
unggas pedaging dan menurunkan produksi telur pada unggas petelur serta meningkatkan
jumlah unggas afkir pada sebuah usaha peternakan unggas.
______________________________________________
DAFTAR PUSTAKA
El-Sawah,
A. M., Soliman, Y. A., and Shafey, S. M. 2012. Molecular Characterization of
Avibacterium paragallinarum Strains Used in Evaluation of Coryza Vaccine in
Egypt. J. Am. Sci. 8(3):253-263.
Poernomo,
S. 1975. Haemophilus gallinarum pada Ayam: Isolasi Haemophilus gallinarum pada
Ayam. Bull LLPH. (8-9):11-22.
Prasetyo, DW. 2014.
Pengamatan Makroskopis Kadaver
Ayam Broiler di Rumah Pemotongan Unggas PT. Ciomas Adi Swasta di Desa
Kaba – kaba Tabanan Bali yang didasarkan atas Causa Primernya. Indonesia
Medikus Veterinus. 3(1):73-83.
Priya,
P. M., S. V. Krishna, V. Dineskhumar, and M. Mini. 2012. Isolation and
Charaecterization of Avibacterium paragallinarum from Ornamental Birds in
Thrissur, Kerala. Int. J. Life. Sci. 1(3):87-88.
Sandoval,
V. E., H. R. Twerzolo, and P. J. Blackall. 1994. Complicated Infectious Coryza
Cases in Argentina. Av. Dis. (38):672-678.
Tabbu,
C. R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Vol. 1. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta. Pp. 14-20.
Tati dan Supar. 2007. Pengendalian Coryza Infeksius
pada Ayam. Balai Besar Penelitian Veteriner. 185 – 191.